EFEK
PENGOLAHAN DENGAN CARA PEREBUSAN TERHADAP ZAT GIZI MAKRO
(Makalah
Evaluasi Gizi Dalam Pengolahan)
Oleh
JURUSAN
TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2018
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada saat ini telah banyak
dilakukan penelitian pengaruh proses pemasakan terhadap komposisi zat gizi
beberapa bahan pangan baik hewani dan nabati . Dalam beberapa hal ,proses
pemasakan diperlukan sebelum kita mengonsumsi suatu makanan dan umumnya
digunakan untuk mengubah bentuk dari bentuk utuh menjadi bentuk yang dapat
segera dimakan. Perlu
diketahui bahwa pemasakan
khususnya dengan suhu tinggi menyebabkan reaksi
yang menguntungkan dan merugikan pada bahan pangan. Salah satu pengolahan
bahan pangan dengan pemanasan yaitu perebusan.
Perebusan merupakan proses pemasakan bahan pangan dengan menggunakan media air
panas, perebusan dilakukan dengan mencelupkan bahan pangan kedalam air mendidih
(1000C) dengan waktu yang bervariasi tergantung sifat ,jenis, dan
ukuran bahan ( Yeni et.al 2012 )
Pada dasarnya komposisi kimia bahan pangan terdiri dari berbagai
kandungan zat gizi yaitu senyawa
dan
senyawa mikro. Melalui serangkaian reaksi
biokimia umumnya bahan mentah merupakan komoditas yang
mudah rusak komposisi kimianya baik
pangan hewani maupun nabati
. Karbohidarat, protein
dan lemak merupakan zat gizi makro yang rentan terhadap kerusakan akibat pengolahan
dengan suhu dan waktu yang berlebihan. Senyawa tersebut merupakan zat gizi
makro yang mudah bereaksi pada pengolahan panas, adapun kerusakan yang diakibatkan berupa
penurunan kandungan gizi suatu bahan pangan dibandingkan bahan mentahnya (Ikram,2004). Namun proses
pemasakan khusunya perebusan memiliki beberapa
keuntungan yaitu
diperoleh rasa, aroma, tekstur yang lebih baik, membunuh mikroba, menginaktifkan enzim, menurunkan senyawa antinutrisi dan dampak lain yang
terjadi berupa peningkatan sifat fungsional sehingga lebih mudah diserap oleh
tubuh.
Pemasakan dapat dilakukan perebusan
den pengukusan dan lain-lain. Pada makalah
ini dibuat untuk mengulas efek pengolahan dengan cara perebusan terhadap zat
gizi makro.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan
makalah ini adalah mengatahui efek pengolahan dengan cara perebusan terhadap
zat gizi makro
II. PEMBAHASAN
Judul
Jurnal : Pengaruh waktu perebusan terhadap
kandungan proksimat mineral dan kadar gosipol tepung biji kapas
Oleh :Nuni Eka Diana
Tanaman kapas selain sebagai
penghasil serat, tanaman kapas juga merupakan sumber penghasil minyak dan
protein, dengan kandungan protein berkisar antara 39-45% pada tepung biji kapas
bebas lemak (Matondi
et.al, 2007). Menurut Scheffler et.al (2008)., dalam
biji kapas mengandung protein kasar sebesar 29,1% dan berdasarkan penelitian Gerasimidis et.al (2007)
biji kapas mengandung kadar protein sebesar 23,4% . Selain protein, biji kapas
mengandung sejumlah karbohidrat dan abu yang bervariasi tergantung pada varietas
dan lokasi penanaman tanaman kapas. Menurut Ezekiel et.al (2013), rata-rata kandungan protein
kasar, serat kasar dan abu pada biji kapas adalah 22,31%; 17,74% dan 4,71%,
sementara pada kernel adalah 32,62%; 3,45% dan 4,01%. Berdasarkan penelitian Adelola dan Ndudi (2012) , kandungan
karbohidrat dan abu sebesar 57,06% dan 1,5%. Biji kapas mengandung minyak dalam
inti biji kapas mencapai 36,8 – 41,3 % tergantung pada perlakuan pemupukan
terutama nitrogen (Sawan
et al, 2006), sedangkan menurut Khan et.al (2010), kandungan minyak dalam biji
kapas berkisar antara 27,52-30,15% tergantung pada variasi genetik dan
heritabilitas tanaman kapas.
Biji kapas dalam pengolahannya
dapat dibuat menjadi tepung, namun dalam pelaksaannya terdapat zat toksik
berupa phenol yang disebut gosipol sehingga tidak aman untuk dikonsumsi dalam
jumlah besar. Gosipol bersifat racun bagi hewan kecuali ruminansia dan
berpengaruh negatif terhadap aktivitas sperma. Terdapat dua macam gosipol,
yaitu gosipol yang terikat (bounded gossypol) dan gosipol bebas (free
gossypol), dan yang membahayakan kesehatan adalah gosipol bebas (Dodou, 2005). Kadar
gosipol bebas biasanya berkisar antara 0,391,70%, sedangkan kadar keseluruhan
dapat mencapai 6,64%. Selisih antara keduanya adalah gosipol terikat (Kenar,
2006). Hasil penelitian Alexander
et.al (2008), menyatakan bahwa kandungan gosipol bebas pada berbagai
varietas tanaman kapas pada berbagai lokasi berkisar antara 4,7-7,0 mg/kg.
Sehingga untuk menurunkan kandungan gosipol pada biji kapas perlu dilakukan
perlakuan tertentu, diantaranya dengan pemanasan (pengukusan) dan pengikatan
gosipol dengan ion logam sehingga terbentuk kelat.
Perebusan dinilai sebagai salah
satu cara untuk mengurangi zat toksik dari biji kapas dan dalam pelaksaannya
diperlukan analisis salah satunya terhadap kandungan proksimat. Pada penelitian
Nunik Eka Diana (2016), dilakukan sebuah penelitian untuk melihat pengaruh lama
perebusan terhadap kandungan proksimat, mineral dan kandungan gosipol. Metode
dalam penelitian tersebut adalah Pembuatan tepung diawali dengan pengeringan
biji kapas dalam oven pada suhu 65 oC selama 48 jam, kemudian
dipecah dengan penggiling kopi dan dipisahkan kernel dan kulitnya. Kemudian
dilakukan perebusan hingga keseluruhan biji kapas terendam air dengan variasi
lama waktu perebusan antara ½, 1, 2, 3, 4 dan 5 jam dengan jumlah sampel
sebanyak 500 gram setiap perlakuan, pengeringan kembali dengan suhu 65 oC
selama 72 jam dan penumbukan menjadi tepung dengan menggunakan mesin grinding
dan diambil sebanyak 100 gram tepung biji kapas untuk proses analisa. Kadar gosipol bebas ditetapkan dengan metode
kolorimetri dengan menggunakan standar gosipol sebagai pembanding (Zhang et al,
2006), sedangkan kandungan proksimat ditetapkan berdasar AOAC (AOAC, 1990) dan
kadar mineral ditetapkan berdasarkan metode oleh Fubara et.al (2011). Keseluruhan perlakuan
dilakukan sebanyak 3 ulangan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dan data yang diperoleh selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Hasil
analisis terhadap kandungan proksimat biji kapas berdasarkan lama perebusan
disajikan pada Tabel
.
Tabel 1. Pengaruh lama perebusan terhadap
kandungan proksimat tepung biji kapas
Keterangan/Remarks : Angka-angka
yang didampingi huruf yang sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata
pada BNT taraf 5%. Hasil analisis berdasarkan berat kering.
Pada tabel 1 diketahui bahwa lama perebusan memberikan
pengaruh terhadap kadar air terserap, sehingga terjadi kehilangan massa (berat
kering) biji kapas. Hasil penelitian Blessing dan Gregory (2010), menyebutkan perebusan dengan waktu
yang lebih lama dapat meningkatkan kadar penyerapan air, dengan semakin
meningkat kandungan air, maka berat kering akan semakin menurun. Hal ini yang menyebabkan kandungan nutrisi
dan gizi pada bahan pangan seolaholah meningkat. Menurut Agustina et.al (2013),
umumnya biji berkarbohidrat tinggi kemampuan menyerap airnya lebih rendah
dibandingkan biji yang berprotein tinggi. Selama ± 120 menit pertama, kandungan
air meningkat tajam. Antara 120 menit hingga ± 240 menit, terjadi kenaikan
kadar air yang tidak berbeda nyata, tergantung pada variasi suhu perendaman
yang dilakukan.
Terjadi penurunan kadar pati pada
proses perebusan selama 30 menit, namun meningkat hingga perebusan sampai
dengan 4 jam, dan menurun lagi pada proses perebusan selama 5 jam (Tabel 1). Hal ini
diakibatkan karena ketika pati mengalami pemanasan maka granula pati akan
membengkak dan terjadi gelatinisasi, sehingga ketika pemanasan sampai dengan 4
jam kadar pati meningkat. Pembengkakan granula pati terjadi pada suhu 55-65 oC,
dan setelah pembengkakan ini granula pati akan kembali pada kondisi semula.
Jika pemanasan terus dilanjutkan maka akan terjadi karamelisasi. Selain itu
kandungan pati berkorelasi dengan kandungan serat, dimana ketika mengalami
pemanasan yang terus menerus maka serat pangan yang terdapat dalam bahan akan
mengalami kerusakan sehingga kadar pati (karbohidrat) akan turun (Agustina et al, 2013). Menurut Osman (2007),
pada beberapa biji-bijian dan serealia, proses pemanasan dapat meningkatkan
nilai nutrisi karena terjadinya gelatinisasi pati dan meningkatkan daya cerna.
Proses pemanasan yang digunakan dalam proses ekstraksi dilakukan untuk
menghilangkan minyak dari beberapa biji-bijian. Perlakuan panas meningkatkan
nilai gizi dengan merusak inhibitor tripsin, dan meningkatkan daya cerna
protein dan asam amino, lemak, dan karbohidrat yang terdapat dalam bahan.
Dilaporkan oleh Wang et.al (2008),
kandungan serat kasar pada biji kapas komersial adalah 15,4-28,2%, pada tepung
sebesar 11,2-12,7%, sedangkan pada kulit sebesar 47,8-48,6%. Pada perlakuan
perebusan, terjadi penurunan kandungan serat kasar pada tepung biji kapas yang
diperoleh. Hal ini diakibatkan karena terjadinya pelunakan dan hilangnya kulit
keras dari beberapa biji dalam proses perebusan dan peresapan air. Testa biji
memiliki kandungan serat yang tinggi, kehilangan itu berarti merupakan
penurunan kandungan serat kasar. Sementara hasil penelitian Udensi, et.al (2010),
menyebutkan bahwa perlakuan perendaman yang diikuti dengan perebusan tidak
memberikan pengaruh, kecuali pada perendaman selama 24 jam yang diikuti
perebusan selama 90 menit memberikan hasil serat kasar paling rendah
dibandingkan perlakuan lain, namun meningkatkan kandungan karbohidrat pada
kacang kara benguk.
Kadar protein pada tepung biji
kapas mengalami penurunan selama proses perebusan biji kapas sampai dengan 3
jam, sedangkan perebusan selama 4 jam dan 5 jam meningkatkan kadar protein. Hal
ini diduga bahwa setelah 3 jam, terjadi pengurangan massa biji kapas/ berat
kering dan tidak terjadi penurunan lagi kadar protein dan pati, maka persentase
kadar zat-zat tersebut meningkat.
Penelitian oleh Blessing
dan Gregory (2010), menyebutkan perebusan dengan waktu yang lebih lama
dapat meningkatkan kadar penyerapan air, protein kasar dan kandungan
karbohidrat. Kandungan protein akan semakin terdenaturasi sehingga pecah
menjadi asamasam amino yang lebih mudah tercerna. Hal serupa dilaporkan oleh Anwa,et.al (2007), bahwa
perlakuan pemanasan dapat meningkatkan tingkat kecernaan protein dengan
terbukanya struktur-struktur protein akibat terjadinya denaturasi. Namun, Famurewa and Raji (2011), berpendapat bahwa
perlakuan pemanasan dapat menyebabkan penurunan kualitas protein akibat proses
denaturasi dan reaksi Maillard pada suhu tinggi. Sementara penelitian Nsa et.al (2011),
menyatakan bahwa perebusan biji jarak kepyar selama lebih dari 10 menit dapat
menurunkan kadar protein dan kandungan ricin pada biji.
Perlakuan perebusan ternyata tidak
menurunkan kadar minyak. Hal ini disebabkan karena minyak termasuk senyawa non
polar yang tidak larut dalam air (Agustina et al, 2013). Hasil ini seiring dengan hasil
penelitian Nzewi et.al
(2011), bahwa semakin lama waktu perebusan, maka kandungan lemak pada
biji asparagus semakin menurun. Lebih lanjut, Amon et.al (2011) mengemukakan bahwa semakin lama
waktu perebusan akan menurunkan kandungan lemak/minyak dalam tepung kacang
hijau, namun terjadi peningkatan ketika perebusan dilanjutkan hingga 45 – 60
menit, karena adanya kerusakan sel yang tinggi akibat waktu perebusan yang lama
Judul
Jurnal :Komposisi kimia kupang merah (Musculista
senhausia) segar dan rebus Chemical
Compositions of fresh and boiled red mussel (Musculista senhausia)
Oleh :Nurjanah, Agoes M.
Jacoeb, Reza Nurul Ulma, Shinta Puspitasari, Taufik
Hidayat
Metodelogi
Penelitian
ini meliputi pengambilan sampel kupang merah (M. senhausia) pada bulan
Mei 2013 sebanyak 5 kg berat basah, dari Pantai Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur.
Sampel kupang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kupang segar dan
kupang rebus. Kupang direbus dengan air yang bersuhu 100°C selama 10 menit.
Analisis yang dilakukan meliputi proksimat, asam amino menggunakan High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) merek Shimadzu berdasarkan acuan
metode AOAC (2005) , asam lemak dengan Gas Chromatography (GC) berdasarkan metode
AOAC 1984 butir 28.060/GC,
Hasil dan Pembahasan
A. Komposisi Kimia dan Rendemen
Kupang Merah
Komponen kimia dan rendemen
kupang merah segar dan rebus disajikan pada Tabel 1.
Komponen
kimia dan rendemen kupang merah mengalami penurunan (Tabel 1). Hasil ini
menunjukkan bahwa melalui perhitungan secara basis kering (BK) komposisi kimia
daging kupang merah menurun setelah mengalami proses perebusan. Penurunan
komposisi kimia pada kupang merah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Salamah et al. (2012) yang dilakukan terhadap remis. Kadar air, abu,
protein, dan lemak remis juga mengalami penurunan setelah perebusan.
B. Kandungan Asam Amino Kupang Merah
Kandungan
asam amino kupang merah segar dan rebus disajikan pada Tabel 2.
Asam
amino yang terdeteksi pada kupang merah melalui HPLC terdiri dari 17 jenis asam
amino yang meliputi 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial.
Perebusan menyebabkan semua asam amino esensial dan non esensial menurun.
Penurunan asam amino pada kupang merah setelah proses perebusan ini disebabkan
oleh sifat asam amino yang mudah larut dalam air. Beberapa asam amino misalnya
alanin, asam aspartat, sistina, asam glutamat, glisina, isoleusina, leusina,
metionina, fenilalanina, serina, triptofan, dan tirosina larut air pada suhu
0-100˚C,
hidroksiprolina, prolina, dan valina larut air pada suhu 0-75˚C, dan histidin
larut air pada suhu 25˚C
(de Man, 1999). Ikram dan Ismail (2004)
menyatakan bahwa proses perebusan dapat menyebabkan terlarutnya protein pada
air sebagai media perebusan, sehingga pada saat bahan dipisahkan dari air
perebusan menyebabkan turunnya kandungan protein dan asam amino pada bahan saat
dianalisis. Asam amino yang
menurun setelah proses perebusan saat dianalisis disebabkan oleh asam amino
merupakan penyusun protein.
C. Kandungan Asam Lemak Kupang Merah
Komposisi
rata-rata asam lemak pada kupang merah disajikan pada tabel 3
Berdasarkan
Tabel 3 dapat diketahui bahwa kandungan asam lemak kupang merah juga mengalami
penurunan akibat perebusan. Proses
pemanasan pada kupang dapat menyebabkan lipida mengalami hidrolisis dan
menghasilkan asam-asam lemak bebas. Proses pemanasan dapat menyebabkan
berubahnya komponen asam lemak menjadi senyawa-senyawa yang volatil yakni
aldehid, keton, asam dan hidrokarbon. Senyawa-senyawa ini akan menguap ketika
diberikan panas sehingga kandungan asam lemaknya mengalami penurunan. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Yenni et al.
(2012) tentang pengaruh perebusan terhadap asam lemak kerang pokea yang
menyatakan bahwa terjadi penurunan asam lemak pada kerang pokea setelah
diberikan perlakuan panas yaitu perebusan pada suhu 100°C dan dengan
penghitungan asam lemak menggunakan metode GC (Gas Chromatography). Kerusakan
lemak yang dapat terjadi selama proses perebusan yaitu hidrolisis lemak. Air
dapat menyebabkan lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak.
Reaksi hidrolisis dapat terjadi pada asam lemak jenuh dan asam lemak tidak
jenuh. Reaksi ini dapat dipercepat oleh aktivitas enzim lipase dan panas,
reaksi hdrolisis memerlukan air maka keberadaan air akan mempercepat reaksi
(Kusandar, 2010).
Judul Jurnal
:PENGARUH LAMA PEREBUSAN DAN LAMA PENYANGRAIAN DENGAN KUALI TANAH LIAT TERHADAP MUTU
KERIPIK
BIJI
DURIAN (Durio zibethinus Murr)
Oleh :Yulia Ester Pakpahan, Zulkifli Lubis,
Setyohadi
Metodologi
Biji durian disortasi dan dipilih biji durian yang bermutu baik, dibersihkan dan dicuci kemudian biji durian direbus sesuai dengan perlakuan
selama
10 menit, 15 menit, 20 menit dan
25
menit. Biji durian yang telah
direbus lalu diuji kandungan rendemen, air, karbohidrat, lemak, protein, dan
sifat organoleptiknya. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis keseragaman (ANOVA) dimana perlakuan yang
memberikan pengaruh yang berbeda nyata atau sangat nyata kemudian diuji dengan uji beda nyata terkecil /
Least Significan Rage (LSR).
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama
perebusan memberikan pengaruh terhadap rendemen,
kadar air (%), kadar abu (%), kadar lemak (%), kadar protein (%), kadar karbohidrat(%), nilai organoleptik warna (numerik), nilai organoleptik
kerenyahan (numerik), nilai
organoleptik cita rasa (numerik) dapat
dilihat
pada
Tabel
1
Tabel 1. Pengaruh lama perebusan (menit)
terhadap parameter
yang diamati
|
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada taraf 5% huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) dengan uji LSR.
Kadar Karbohidrat (%)
Semakin lama perebusan maka kadar karbohidrat biji
durian yang dihasilkan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pengaruh penurunan
kadar air,
kadar abu,
kadar
protein dan kadar lemak sehingga meningkatkan kadar karbohidrat yang dihasilkan pada biji durian. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Winarno,
(2002) yang
menyatakan kadar karbohidrat ditentukan dengan menghitung selisih 100%
dengan jumlah kadar protein, lemak,
abu dan air, sehingga apabila jumlah kadar tersebut banyak yang menurun maka kadar karbohidratnya meningkat.
Judul jurnal :Pengaruh waktu perebusan biji nangka (artocapus
Heterophylluslamk)terhadap kadar karbohidrat, protein, dan lemak.
Oleh :Selvi Yulianti, Ratman dan Solfarina J. Akad.
Kim. 4(4): 210-216, November 2015 ISSN 2302-6030 (p), 2477-5185 (e)
Metodologi
Biji nangka 100 gram dipotong
menjadi bagian-bagian kecil, selanjutnya direbus dengan menggunakan variasi
waktu yang berbeda yaitu 15 menit, 30 menit dan 45 menit. Biji nangka yang
sudah direbus dibiarkan kering dengan menggunakan oven pada suhu 60oC selama 16
jam. Sampel yang telah kering diblender kemudian diayak menggunakan ayakan 80
mesh. Tepung biji nangka siap digunakan untuk analisis.
Analisis kadar karbohidrat
dilakukan dengan cara sampel tepung biji nangka ditimbang 2 gram. Dimasukkan
sampel kedalam gelas kimia, lalu 50 mL aquades ditambahkan dan diaduk dengan
magnetik stirer selama 1 jam. Sampel disaring dengan kertas saring pada labu
ukur 250 mL. Aquades ditambahkan sampai batas tera. Residu ditambahkan dan
aquades sebanyak 200 mL disemprotkan kedalam erlenmeyer. Larutan fenol 5% sebanyak
0,5 mL dan H2SO4 sebanyak 2,5 mL ditambahkan. Selama 10 menit didiamkan
kemudian divorteks dan selama 20 menit didiamkan kembali. kadar karbohidrat
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Perlakuan
dilakukan sebanyak dua kali.
Analisis kadar lemak dilakukan
dengan ara labu dikeringkan dalam oven yang ukurannya sesuai alat ekstraksi
soxhlet. Lalu, dinginkan di dalam desikator dan ditimbang. 2 gram sampel halus
ditimbang dan dibungkus dengan kapas dan kertas saring. Sampel dimasukkan
kedalam alat extraksi soxhlet, alat kondensor dipasang di atas dan labu di
bawah alat soxhlet. Pelarut heksana diisi dalam labu. Proses refluks dilakuakan
sampai pelarut turun kembali dan berwarna jernih. Labu dipanaskan sampai
pelarut mendidih dan menguap naik,ke sampel yang dibungkus kertas saring
dan,turun ke labu dan seterusnya. Dilalukan proses destilasi pelarut yang telah
mengandung ekstrak lemak dalam labu, dan menampung pelarutnya. Labu yang berisi
lemak hasil ekstraksi di panaskan dalam oven pada suhu 105 ÂșC, lalu dinginkan
dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Perlakuan dilakukan
sebanyak dua kali dan gantikan dengan sampel yang direbus selama15 menit, 30
menit, dan 45 menit.
Analisis kadar protein
dilakukan dengan cara sampel 0,5 gram ditimbang dan dimasukan ke dalam labu
Kjeldahl. 0,1 gram K2SO4, 10 mg HgO, 10 mL larutan H2SO4 pekat, dan 1-3 butir
batu didih ditambahkan, semua bahan didestruksi (dipanaskan) dalam labu
Kjeldahl sampai mendidih hingga larut dalam labu dan cairan jernih. Pemanasan
dihentikan dan dibiarkan dingin. Erlenmeyer ukuran 125 mL yang telah berisi 5
mL larutan H3BO3 dan 2-5 tetes indikator phenolphthalein ditambahkan dan
diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor direndam dalam larutan
H3BO3. 8-10 mL NaOH-Na2S2O3 ditambahkan kemudian destilasi sampai destilat
tertampung dalam erlenmeyer mencapai kurang lebih 15 mL. setelah itu diencerkan
kira-kira sampai 50 mL. Titrasi dengan larutan HCl 0,112 N. Proses titrasi
dihentikan pada saat destilat berubah warna merah muda (apabila digoyanggoyang
tetap berwarna merah muda, stabil). Larutan blangko dibuat dan sampel
digantikan dengan aquades. Perlakuan diulangi untuk sampel yang direbus selama
15 menit, 30 menit dan 45 menit dan larutan blangko. Perlakuan dilakukan
sebanyak dua kali.
Hasil dan Pembahasan
Hasil data yang diperoleh
yaitu analisa kadar karbohidrat, protein, dan lemak disajikan pada Gambar 1
sebagai berikut ;
Berdasarkan gambar tersebut
dijelaskan bawa kandungan biji nangka akan mengalami penurunan kadar
karbohidrat seiring lamanya waktu perebusan. Dari penelitian ini menurunnya
kadar karbohidrat pada waktu perebusan selama 45 menit dengan kadar karbohidrat
yaitu 42,75%. Pada protein mengalami
denaturasi akibat proses pemanasan. Denaturasi membuat protein akan menjadi
rusak. Sehingga banyaknya protein yang terdenaturasi maka akan semakin
berkurang kadar protein biji nangka tersebut. Pada penelitian ini didapatkan
kadar protein pada waktu perebusan 15 menit, 30 menit, dan 45 menit adalah
5,40%, 0,95%, dan 0,40%. Sedangkan pada kadar lemak, terjadi penurunan kadar
lemak dari bii nangka waktu perebusan yang berbeda-beda yaitu , 15 menit, 30
menit,dan 45 menit adalah 3,928%, 3,837%, dan 3,568%. Penurunan kadar protein
disebabkan karena proses perebusan yang semakin lama, membuat lemak akan
teroksidasi khususnya pada asam lemak tak jenuh.
III.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan adalah:
1. Lama
perebusan berpengaruh terhadap penurunan kadar protein tepung biji kapas,
perebusan selama 4 jam dapat meningkatkan kadar protein dibandingkan dengan
perebusan ½- 3jam.
2.
Semakin lama waktu perebusan yang dilakukan (0,15,30)
maka akan semakin menurunkan kadar karbohidrat, protein, dan lemak pada
perebusan biji nangka.
3.
Proses perebusan selama 10 menit dengan suhu 1000C
menyebabkan perubahan pada komposisi kimia kupang merah ,asam amino. Komposisi
kimia tersebut meliputi kadar protein 1,39%, lemak 0,42% dan karbohidrat naik
4,07%. Asam amino mengalami penurunan perebusan yaitu SAFA 38,17% segar dan
37,31% rebus, MUFA 8,13% segar dan 8,02% rebus, Pufa 10,31% segar dan 8,77%
rebus.
4. Waktu
perebusan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap
rendemen kadar lemak ,kadar protein dan kadar karbohidrat.
DAFTAR
PUSTAKA
AOAC.
1990. Association of Official Analytical
Chemists, 15th edition. Washington DC, USA.
Adelola,
OB. and Ndudi, EA. 2012. Extraction and Characterization of Cottonseed
(Gossypium) Oil. International Journal of Basic and Applied Science. 01(02): 398-40
Agustina,
N., Sri W., Warji, dan Tamrin. 2013. Pengaruh suhu perendaman terhadap
koefisien difusi dan sifat fisik kacang merah. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. 2(1) : 3542
Amon,
AS., Rene YS., Phampile KBK, Edmond AD., and Lucien PK. 2011. Biochemical
Characteristics of Flours from Ivorian Taro (Colocasia esculenta, Cv Yatan)
Corm as Affected by Boiling Time. Advance
Journal of Food Science and Technology. 3(6): 424-435
Anwa
EP, Auta J, Abudullahi SA, Bolorunduro PI. 2007. Effect of processing on seeds
of Albizzia lebbeck: Proximate analysis and phytochemical screening. Res. J. Bio Sci. 2(1): 41-44
Blessing,
IA. and IO. Gregory. 2010. Effect of processing on the proximate composition of
the dehulled and undehulled mungbean [Vigna radiata (L.) Wilczek] Flours. Pakistan Journal of Nutrition. 9 (10) :
1006-1016
de Man, J.M. 1999. Principles of food chemistry.
Aspen Publishers,Inc. US. Maryland.
Dodou,
K. 2005. Investigations of gossypol –
past and present developments. Expert Opin. Inv. Drugs. 14 : 14191434.
Ezekiel,
O.O., and Abiodun A.O. 2013. Effect of Processing on Sensory Characteristics and
Chemical Composition of Cottonseed (Gossypium hirsutum) and Its Extract. International Journal of Biological,
Biomolecular, Agricultural, Food and Biotechnological Engineering. 7 (3) :
197-201
Famurewa,
J. A. V. and Raji, A. O. 2011. Effect of drying methods on the physico-chemical
properties of soyflour. African Journal of Biotechnology. 10(25)
: 5015-5019.
Fubara,
E. P., Bassey. O.E. and Ozioma A.E. 2011. Evaluation of the Effects of
Processing on the Mineral Contents of Maize (Zea mays) and Groundnut (Arachis
hypogaea). Libyan Agriculture Research
Center Journal International. 2 (3): 133-137
Gerasimidis,
K., Dimitrios TF., Maria B., Katerina T., and Haralampcs K. 2007 . Preparation
of an edible cottonseed protein concentrate and evaluation of its functional
properties. International journal of Food
Sciences and Nutrition. 58(6) : 486-490
Ikram, E.H.K., A. Ismail. 2004. Effects of cooking
practices (boiling and frying) on the protein and amino acids contents of four
selected fishes. Journal of Science Food
Nutrition, 34(2): 54-59.
Khan,
N., Khan B. Marwat, Gul Hassan, Farhatullah, Sundas Batool, Khadijah Makhdoom,
Waqas Ahmad and Habibullah Khan. 2010. Genetic variation and heritability for
cottonseed, fiber, and oil traits in Gossypium hirsutum L. Pakistan J. Bot. 42 (1) : 615-625.
Kenar,
J. A. 2006. Reaction chemistry of gossypol and its derivatives. Journal of the American Oil Chemists’
Society. 83 (4) : 269–302.
Kusnandar, F.
2010. Kimia pangan: komponen makro. Dian Rakyat. Jakarta.
Matondi,
GHM., E. Masama, IDT. Mpofu, and FF.Muronzi. 2007. Effect of feeding graded levels of cotonseed meal on goat erythrocyte
membrane osmotic fragility. Livestock Research for Rural Development. 19
(11).
Nsa,
EE, Ukachukwu, SN, Isika, MA. and Ozung, PO. 2011. Effect of boiling and
soaking durations on the proximate composition, ricin and mineral contents of
undecorticated castor oil seeds (Ricinus communis). International Journal of Plant, Animal and Environment Sciences.
1(3) : 244-252
Nunik,
E. D. 2016. Pengaruh Waktu Perebusan terhadap Kandungan Proksimat, Mineral dan
Kadar Gosipol Tepung Biji Kapas. Jurnal
Penelitian Pascapanen Pertanian Vol. 13 No.1: 100 – 107
Nurjanah, A.M. Jacoeb, R.N Ulma, S. Puspitasari, T.
Hidayat. 2015.
Komposisi kimia kupang merah (Musculista senhausia)
segar dan rebus Chemical compositions of fresh and boiled red mussel
(Musculista senhausia). Jurnal Depik 3(3): 241-249
Nzewi,
D. And Egbuonu, ACC. 2011. Effect of boiling and roasting on the proximate
properties of asparagus bean (Vigna Sesquipedalis). African Journal of Biotechnology. 10(54) : 11239-11244.
Osman, AM. 2007. Effect of different processing
methods on nutrient composition, anti-nutritional factors and in vitro protein
digestibility on Dolichos lablab bean (Lablab purpureus (L) Sweet). Pak. J. Nutr. 6 (4) : 299-303
Sawan,
ZM., Saeb A. Hafez, Ahmed E. Basyony, and Abou El-Ela R. Alkassas. 2006.
Cottonseed, protein, oil yields and oil properties as afected by nitrogen
fertilization and foliar application of potassium and a plant growt retardant. World Journal of Agricultural Science. 2
(1) : 56-65.
Salamah, E., S. Purwaningsih, R..Kurnia. 2012.
Kandungan mineral remis (Corbicula javanica) akibat proses pengolahan. Jurnal Akuatika, 3(1): 74-83.
Scheffler, J. A. and G. B. Romano. 2008. Breeding and
genetics: modifying gossypol in cotton (Gossypium hirsutum L.): a cost
effective method for small seed samples. Journal
of Cotton Science. 12 (3) : 202–209.
Udensi,
EA., NU. Arisa, E. Ikpa. 2010. Effects of soaking and boiling and autoclaving
on the nutritional quality of Mucuna flagellipes (“ukpo”). African Journal of Biochemistry Research. 4(2) : 47-50
Wang,
N., Hatcher, D.W., and Gawalko, E.J. 2008. Effect
of variety and processing on nutrients and certain antinutrients in field peas
(Pisum sativum). Food Chem. 111 :
132-138.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan
dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yenni, Nurjanah, T. Nurhayati. 2012. Pengaruh
perebusan terhadap kandungan asam lemak dan kolesterol kerang pokea (Batissa
violacea celebensis Marten 1897). Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia,15(3):
193-197.
Zhang,
Wen-ju, XU, Zi-rong, SUN, Jian-yi, and YANG Xia. 2006. Effect of selected fungi
on the reduction of gossypol levels and
nutritional value during solid substrate
fermentation of cottonseed meal. Journal of Zhejiang University.
7(9):690-695.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar