KOAGULASI KARET I TUGAS MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN KARET


I.                   PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tanaman karet memiliki peranan yang besar dalam kehidupan perekonomian Indonesia. Banyak masyarakat yang hidup dengan mengandalkan perkebunan karet sebagai komoditas usahanya dan khususnya bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Total luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3 juta hektar lebih, dan termasuk sebagai yang terluas didunia. Pengolahan awal lateks atau getah karet sebelum diolah di pabrik pengolahan karet menjadi bahan baku karet alam seperti crepe, sheet, lateks pusingan dan sebagainya juga masih diusahakan secara sederhana oleh masyarakat, sehingga mutu karet yang dihasilkan menjadi memprihatinkan sehingga harga jual menjadi rendah.

Di Indonesia, lateks atau getah karet juga merupakan salah satu komoditas utama usaha rakyat, berupa hasil perkebunan yang kebanyakan dikelola oleh masyarakat khususnya di daerah pedesaan. Dalam tahap awal, petani karet biasanya melakukan pengolahan lateks secara sederhana sebelum dijual ke pengumpul (pabrik karet), adapun pengolahan yang dilakukan adalah dengan melakukan prakoagulasi pada lateks sehingga menjadi berbentuk padatan dengan menggunakan koagulan yang lazim digunakan oleh masyarakat. Karet hasil olahan masyarakat ini lazim disebut sebagai bokar, atau “bahan olahan karet rakyat”, hasil olahannya berupa lump dan slab. Bokar merupakan komoditi utama suatu pedesaan. Terutama pedesaan yang letaknya di pedalaman. Dari berbagai pilihan komoditas tani yang ada, karet justru menjadi pilihan yang banyak disukai karena produktifitasnya yang tinggi, dan yang paling penting ia tidak tergantung dengan musim panen, seperti halnya produk tani yang lain. Sehingga dari hal ini suatu desa mampu ikut memberikan kontribusi dalam bidang ekonomi bagi negara.

1.2  Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui mekanisme prakoagulasi lateks.
2.    Untuk mengetahui mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi lateks.
3.    Untuk mengetahui cara pengujian mutu karet dan bokar.

II.                ISI

2.1 Prakoagulasi lateks
Pada saat mulai keluar dari pohon hingga beberapa jam lateks masih berupa cairan, tetapi setelah kira-kira 8 jam lateks mulai mengental dan selanjutnya membentuk gumpalan karet. Penggumpalan (prakoagulasi) dapat dibagi 2 yakni;. penggumpalan spontan dan penggumpalan buatan.Penggumpalan spontan biasanya disebabkan oleh pengaruh enzim dan bakteri, aromanya sangat berbeda dari yang segar dan pada hari berikutnya akan tercium bau yang busuk. Sedangkan penggumpalan buatan biasanya dilakukan dengan penambahan asam.
Prakoagulasi terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang terkandung dalam lateks berkurang. Bagian-bagian koloidal ini kemudian menggumpal menjadi satu dan membentuk komponen yang berukuran lebih besar. Komponen koloidal yang lebih ini akan membeku. Inilah yang menyebabkan terjadinya prakoagulasi. Getah karet atau lateks sebenarnya merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang terkandung didalamnya. Bagian- bagian yang terkandung tersebut tidak larut sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air. Partikel-partikel koloidal ini sedemikian kecil dan halusnya sehingga dapat menembus saringan.
Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang terkandung secara merata, biasa disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang larut dalam air, seperti protein, garam-garam mineral, enzim dan lain-lain termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan atau dipancarkan. Komponen kedua ini terdiri dari butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein. Sebenarnya sistem koloidal bisa dipertahankan agak lama sampai satu hari lebih, sebab bagian-bagian karet yang dikelilingi oleh lapisan tipis sejenis protein mempunyai kestabilan sendiri. Stabilisatornya adalah lapisan protein yang mengelilingi tersebut. Dengan berkurangnya kestabilan ini terjadilah prakoagulasi.
Penyebab terjadinya prakoagualasi antara lain sebagai berikut :
1.      Penambahan asam organik ataupun anorganik mengakibatkan turunnya pH lateks titik isoelektriknya sehingga lateks kebun membeku (pH lateks kebun 6,9).
2.      Mikroorganisme – Lateks segar merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, mikroorganisme banyak terdapat dilungkungan perkebunan karet (pepohonan, udara, tanah, air atau pada alat-alat yang digunakan) – Mikroorganisme ini menghasilkan asam-asam yang menurunkan pH mencapai titik isoelektrik sehingga lateks membeku serta menimbulkan rasa bau karena terbentuknya asam-asam yang mudah menguap (volatile fatty acid). Bila banyak mikroorganisme maka senyawa asam yang dihasilkan akan banyak pula. – Suhu udara yang tinggi akan lebih mengaktifkan kegiatan bakteri, sehingga dalam penyadapan ataupun pengangkutan diusahakan pada suhu rendah atau pagi.
3.      Iklim – Air hujan akan membawa zat penyamak, kotoran dan garam yang larut dari kulit batang. Zat-zat ini akan mengkatalisis terjadingan prakoagualasi. – Lateks yang baru disadap juga mudah menggumpal jika terkena sinar matahari yang terik karena kestabilan koloidnya rusak oleh panas yang terjadi.
4.      Pengangkutan – Pengangkutan yang terlambat ataupun jarak yang jauh menyebabkan lateks baru tiba ditempat pengolahan pada siang hari dan sempat terkena matahari sehingga mengganggu kestabilan lateks.
5.      Kotoran atau bahan-bahan lain yang tercampur
– Lateks akan mengalami prakoagulasi bila dicampur dengan air kotor, terutama air yang mengandung logam atau elektrolit.
– Prakoagulasi juga sering terjadi karena tercampurnya kotoran atau bahan lain yang mengandung kapur atau asam (Zurha, Cut Fatima, 2006)


2.2 Koagulasi Lateks
Koagulasi atau Pembekuan bertujuan untuk mempersatukan butir butir karet yang terdapat dalam cairan lateks, supaya menjadi satu gumpalan atau koagulum. Untuk membuat koagulum ini lateks pelu dibubuhi obat pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Menurut penelitian, terjadinya poses koagulasi adalah karena terjadinya penurunan pH. Lateks segar yang diperoleh dari hasil sadapan mempunyai pH 6,5. supaya tidak terjadi pengumpalan,pH yangmendekati netral tersebut harus diturunkan sampai 4,7. Pada kemasaman ini tercapai titik isoelektris atau keseimbangan muatan listrik pada permukaan pertikel pertikel karet, sehingga partikel partikel karet tersebut dapat menggumpal menjadi satu. Penurunan pH ini terjadi dengan membubuhi asam semut 1% atau asam cuka 2% ke dalam lateks yang telah diencerkan(Lukman. 1985).

2.2.1 Mekanisme Koagulasi
1.      Secara Fisika
Koagulasi dapat terjadi secara fisik seperti :
·         Pemanasan, Kenaikan suhu sistem koloid menyebabkan tumbukan antar partikel-partikel sol dengan molekul-molekul air bertambah banyak. Hal ini melepaskan elektrolit yang teradsorpsi pada permukaan koloid. Akibatnya partikel tidak bermuatan. contoh: darah
·         Pengadukan, contoh: tepung kanji
·         Pendinginan, contoh: agar-agar
2.      Secara Kimia
Secara kimia
, koagulasi karet dapat terjadi dengan penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan, dan penambahan zat kimia koagulan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan koloid bersifat netral, yaitu:
·         Menggunakan Prinsip Elektroforesis. Proses elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel koloid yang bermuatan ke elektrode dengan muatan yang berlawanan. Ketika partikel ini mencapai elektrode, maka sistem koloid akan kehilangan muatannya dan bersifat netral.
·         Penambahan koloid, dapat terjadi sebagai berikut:
Koloid yang bermuatan negatif akan menarik ion positif (kation), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan menarik ion negatif (anion). Ion-ion tersebut akan membentuk selubung lapisan kedua. Apabila selubung lapisan kedua itu terlalu dekat maka selubung itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi. Makin besar muatan ion makin kuat daya tariknya dengan partikel koloid, sehingga makin cepat terjadi koagulasi. (Sudarmo,2004)
·         Penambahan Elektrolit. Jika suatu elektrolit ditambahkan pada sistem koloid, maka partikel koloid yang bermuatan negatif akan mengadsorpsi koloid dengan muatan positif (kation) dari elektrolit. Begitu juga sebaliknya, partikel positif akan mengadsorpsi partikel negatif (anion) dari elektrolit. Dari adsorpsi diatas, maka terjadi koagulasi.
Dalam proses koagulasi,stabilitas koloid sangat berpengaruh.stabilitas merupakan daya tolak koloid karena partikel-partikel mempunyai muatan permukaan sejenis (negatip).
Beberapa gaya yang menyebabkan stabilitas partikel, yaitu:
1. Gaya elektrostatik yaitu gaya tolak menolak tejadi jikapartikel-partikel mempunyai muatan yang sejenis.
2. Bergabung dengan molekul air (reaksi hidrasi)
3. Stabilisasi yang disebabkan oleh molekul besar yang diadsorpsi pada permukaan.

2.2.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Koagulasi :
1.      Pemilihan bahan kimia
Untuk melaksanakan pemilihan bahan kimia, perlu pemeriksaan terhadap karakteristik air baku yang akan diolah yaitu :
• Suhu
pH
• Alkalinitas
• Kekeruhan
• Warna

Efek karakteristik tersebut terhadap koagulan adalah:
• Suhu berpengaruh terhadap daya koagulasi dan memerlukan pemakaian bahan kimia berlebih, untuk mempertahankan hasil yang dapat diterima.
• pH Nilai ekstrim baik tinggi maupun rendah, dapat berpengaruh terhadap koagulasi. pH optimum bervariasi tergantung jenis koagulan yang digunakan.
• Alkalinitas yang rendah membatasi reaksi ini dan menghasilkan koagulasi yang kurang baik, pada kasus demikian, mungkin memerlukan penambahan alkalinitas ke dalam air, melalui penambahan bahan kimia alkali/basa ( kapur atau soda abu)
• Makin rendah kekeruhan, makin sukar pembentukkan flok.Makin sedikit partikel, makin jarang terjadi tumbukan antar partikel/flok, oleh sebab itu makin sedikit kesempatan flok berakumulasi.
• Warna berindikasi kepada senyawa organik,
  Warna dimana zat organik bereaksi dengan koagulan, menyebabkan proses koagulasi terganggu selama zat organik tersbut berada di dalam air baku dan proses koagulasi semakin sukar tercapai.
2.        Penentuan dosis optimum koagulan
Untuk memperoleh koagulasi yang baik, dosis optimum koagulan harus ditentukan. Dosis optimum mungkin bervariasi sesuai dengan karakteristik dan seluruh komposisi kimiawi di dalam air baku, tetapi biasanya dalam hal ini fluktuasi tidak besar, hanya pada saat-saat tertentu dimana terjadi perubahan kekeruhan yang drastis (waktu musim hujan/banjir) perlu penentuan dosis optimum berulang-ulang.
3.        Penentuan pH optimum
Penambahan garam aluminium atau garam besi, akan menurunkan pH air, disebabkan oleh reaksi hidrolisa garam tersebut, seperti yang telah diterangkan di atas. Koagulasi optimum bagaimanapun juga akan berlangsung pada nilai pH tertentu
.


2.3 Uji Mutu Karet Bokar

Sesuai dengan pola bisnis pada umumnya yang ingin mendapatkan margin sebesar-besarnya dari hasil penjualan produk, maka di dalam perdagangan bahan  baku karet (bokar) senantiasa muncul upaya untuk memanipulasi berat dengan cara menambahkan zat-zat pengotor.
Peningkatan konsumsi dunia menyebabkan peningkatan kapasitas produksi pabrik. Kondisi ini berdampak persaingan memperebutkan bahan olah semakin tajam, sehingga aspek mutu mulai diabaikan, memicu petani untuk berlomba-lomba menyediakan bahan baku dengan sasaran utamanya adalah kuantitas. Pengawasan mutu yang lemah dan tidak adanya insentif harga terhadap mutu, merupakan faktor utama yang mendorong upaya memanipulasi berat bokar dengan cara membubuhkan bahan-bahan non-karet, agar berat bokar dapat ditingkatkan dengan harapan harganyapun dapat dinaikkan.
Pemerintah sejak tahun 1984 telah membakukan bokar melalui SPI-BUN 02/02/1984 untuk memperbaiki mutu bokar dan memperkecil keragaman jenis  bokar. Sejalan dengan Revisi Skema SIR pada tahun 1988, SPI Bokar tersebut disempurnakan menjadi SPI-BUN 02/02/1988. Pada tahun 1990 SPI Bokar diangkat oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN) menjadi Standar Nasional Indonesia SNI 06 - 2047 - 1990 Bokar. Adanya SNI Bokar SNI 06-2047-1990 seharusnya sangat membantu  perbaikan mutu, namun disayangkan bahwa standar ini sulit diaplikasikan di lapangan. Selain itu SNI Bokar bersifat sukarela (voluntary), berbeda dengan SNI untuk Crumb Rubber dan RSS yang bersifat wajib (mandatory).
Pemerintah melalui Badan Standardisasi Nasional telah merevisi SNI Bokar menjadi SNI 06-2047-1998 berdasarkan Surat Keputusan No. 102/BSN-I/KH/05/98 tanggal 26 Mei 1998 untuk mengeliminir kendala tersebut. Penerapan SNI bersifat wajib (mandatory) yang diharapkan berdampak lanjut sampai ke tingkat petani untuk menghasilkan bokar bermutu baik. Sekalipun SNI 06-2047-1998, bersifat mandatory, namun penerapannya mengalami kesulitan, antara lain disebabkan kurangnya tenaga pelaksana  pengawasan penerapan standar mutu. Selain itu Kapasitas terpasang pabrik telah melampaui kemampuan pasok bahan olah menyebabkan pabrik kurang tertarik untuk menyeleksi bahan olah, selama target produksi belum terpenuhi. Belum terlaksananya penerapan standar mutu bokar secara efektif menyebabkan kondisi bokar belum mengalami peningkatan berarti. Hal ini menyebabkan permasalahan konsistensi mutu masih belum terpecahkan sepenuhnya secara mendasar.
Pihak pabrik masih mengandal-kan cara-cara lama untuk memenuhi permintaan konsumen, yakni dengan cara mencampur berbagai  jenis bahan olah dengan harapan kualitas produk memenuhi kisaran permintaan yang dipersyaratkan konsumen. Selain itu, terkadang pabrik juga melakukan  pengujian total seluruh bandela karet yang dihasilkan dan mengeluarkan produk yang tidak memenuhi persyaratan permintaan konsumen. Selama ini praktek tersebut mampu memenuhi tuntutan konsumen, namun membutuhkan suatu usaha tertentu berupa pencampuran bahan olah yang intensif dan seratus persen  pengecekan terhadap hasil Crumb Rubber Guna meningkatkan kemudahan implementasi SNI Bokar, pemerintah kembali merevisi SNI bokar menjadi SNI 06-2047-2002 yang lebih memberi keleluasaan untuk persyaratan tebal dan metode koagulasi. Efektifitas pemberlakuan SNI bokar yang baru tersebut saat ini masih belum dapat teridentifikasi, diperlukan waktu yang cukup untuk memasyarakannya.
 Referensi :
(http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2007/fitriani%20ratnasari%20dewi%20(044642)/KOAGULASIjadi.html)
(http://id.wikipedia.org/wiki/Koagulasi)

Contoh Makalah Evaluasi Gizi Dalam Pengolahan








EFEK PENGOLAHAN DENGAN CARA PEREBUSAN TERHADAP ZAT GIZI MAKRO
(Makalah Evaluasi Gizi Dalam Pengolahan)

Oleh
Kelompok 6


JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018

I.  PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Pada saat ini telah banyak dilakukan penelitian pengaruh proses pemasakan terhadap komposisi zat gizi beberapa bahan pangan baik hewani dan nabati . Dalam beberapa hal ,proses pemasakan diperlukan sebelum kita mengonsumsi suatu makanan dan  umumnya digunakan untuk mengubah bentuk dari bentuk utuh menjadi bentuk yang dapat segera dimakan. Perlu diketahui bahwa pemasakan khususnya dengan suhu tinggi menyebabkan reaksi yang menguntungkan dan merugikan pada bahan pangan. Salah satu pengolahan bahan pangan dengan pemanasan yaitu perebusan. Perebusan merupakan proses pemasakan bahan pangan dengan menggunakan media air panas, perebusan dilakukan dengan mencelupkan bahan pangan kedalam air mendidih (1000C) dengan waktu yang bervariasi tergantung sifat ,jenis, dan ukuran bahan ( Yeni et.al 2012 )

Pada dasarnya komposisi kimia bahan pangan terdiri dari berbagai kandungan zat gizi yaitu  senyawa dan senyawa mikro. Melalui serangkaian reaksi biokimia umumnya bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak komposisi kimianya baik pangan hewani maupun nabati . Karbohidarat, protein dan lemak merupakan zat gizi makro yang rentan terhadap kerusakan akibat pengolahan dengan suhu dan waktu yang berlebihan. Senyawa tersebut merupakan zat gizi makro yang mudah bereaksi pada pengolahan panas, adapun kerusakan yang diakibatkan berupa penurunan kandungan gizi suatu bahan pangan dibandingkan bahan mentahnya (Ikram,2004). Namun proses pemasakan khusunya perebusan  memiliki beberapa keuntungan  yaitu diperoleh rasa, aroma, tekstur yang lebih baik, membunuh mikroba, menginaktifkan enzim, menurunkan senyawa antinutrisi dan dampak lain yang terjadi berupa peningkatan sifat fungsional sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh.

Pemasakan dapat dilakukan perebusan den pengukusan dan lain-lain. Pada  makalah ini dibuat untuk mengulas efek pengolahan dengan cara perebusan terhadap zat gizi makro.
                          

1.2 Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah mengatahui efek pengolahan dengan cara perebusan terhadap zat gizi makro

II.  PEMBAHASAN



Judul Jurnal           : Pengaruh waktu perebusan terhadap kandungan proksimat mineral dan kadar gosipol tepung biji kapas
 Oleh                        :Nuni Eka Diana

Tanaman kapas selain sebagai penghasil serat, tanaman kapas juga merupakan sumber penghasil minyak dan protein, dengan kandungan protein berkisar antara 39-45% pada tepung biji kapas bebas lemak (Matondi et.al, 2007).  Menurut Scheffler et.al (2008)., dalam biji kapas mengandung protein kasar sebesar 29,1% dan berdasarkan penelitian Gerasimidis et.al (2007) biji kapas mengandung kadar protein sebesar 23,4% . Selain protein, biji kapas mengandung sejumlah karbohidrat dan abu yang bervariasi tergantung pada varietas dan lokasi penanaman tanaman kapas. Menurut Ezekiel et.al (2013), rata-rata kandungan protein kasar, serat kasar dan abu pada biji kapas adalah 22,31%; 17,74% dan 4,71%, sementara pada kernel adalah 32,62%; 3,45% dan 4,01%. Berdasarkan penelitian Adelola dan Ndudi (2012) , kandungan karbohidrat dan abu sebesar 57,06% dan 1,5%. Biji kapas mengandung minyak dalam inti biji kapas mencapai 36,8 – 41,3 % tergantung pada perlakuan pemupukan terutama nitrogen (Sawan et al, 2006), sedangkan menurut Khan et.al (2010), kandungan minyak dalam biji kapas berkisar antara 27,52-30,15% tergantung pada variasi genetik dan heritabilitas tanaman kapas.

Biji kapas dalam pengolahannya dapat dibuat menjadi tepung, namun dalam pelaksaannya terdapat zat toksik berupa phenol yang disebut gosipol sehingga tidak aman untuk dikonsumsi dalam jumlah besar. Gosipol bersifat racun bagi hewan kecuali ruminansia dan berpengaruh negatif terhadap aktivitas sperma. Terdapat dua macam gosipol, yaitu gosipol yang terikat (bounded gossypol) dan gosipol bebas (free gossypol), dan yang membahayakan kesehatan adalah gosipol bebas (Dodou, 2005). Kadar gosipol bebas biasanya berkisar antara 0,391,70%, sedangkan kadar keseluruhan dapat mencapai 6,64%. Selisih antara keduanya adalah gosipol terikat (Kenar, 2006). Hasil penelitian Alexander et.al (2008), menyatakan bahwa kandungan gosipol bebas pada berbagai varietas tanaman kapas pada berbagai lokasi berkisar antara 4,7-7,0 mg/kg. Sehingga untuk menurunkan kandungan gosipol pada biji kapas perlu dilakukan perlakuan tertentu, diantaranya dengan pemanasan (pengukusan) dan pengikatan gosipol dengan ion logam sehingga terbentuk kelat.

Perebusan dinilai sebagai salah satu cara untuk mengurangi zat toksik dari biji kapas dan dalam pelaksaannya diperlukan analisis salah satunya terhadap kandungan proksimat. Pada penelitian Nunik Eka Diana (2016), dilakukan sebuah penelitian untuk melihat pengaruh lama perebusan terhadap kandungan proksimat, mineral dan kandungan gosipol. Metode dalam penelitian tersebut adalah Pembuatan tepung diawali dengan pengeringan biji kapas dalam oven pada suhu 65 oC selama 48 jam, kemudian dipecah dengan penggiling kopi dan dipisahkan kernel dan kulitnya. Kemudian dilakukan perebusan hingga keseluruhan biji kapas terendam air dengan variasi lama waktu perebusan antara ½, 1, 2, 3, 4 dan 5 jam dengan jumlah sampel sebanyak 500 gram setiap perlakuan, pengeringan kembali dengan suhu 65 oC selama 72 jam dan penumbukan menjadi tepung dengan menggunakan mesin grinding dan diambil sebanyak 100 gram tepung biji kapas untuk proses analisa.  Kadar gosipol bebas ditetapkan dengan metode kolorimetri dengan menggunakan standar gosipol sebagai pembanding (Zhang et al, 2006), sedangkan kandungan proksimat ditetapkan berdasar AOAC (AOAC, 1990) dan kadar mineral ditetapkan berdasarkan metode oleh Fubara et.al (2011). Keseluruhan perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan menggunakan Rancangan Acak  Lengkap, dan data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Hasil analisis terhadap kandungan proksimat biji kapas berdasarkan lama perebusan disajikan pada Tabel .

Tabel 1. Pengaruh lama perebusan terhadap kandungan proksimat tepung biji kapas
Keterangan/Remarks : Angka-angka yang didampingi huruf yang sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata pada BNT taraf 5%. Hasil analisis berdasarkan berat kering.

Pada tabel 1 diketahui bahwa lama perebusan memberikan pengaruh terhadap kadar air terserap, sehingga terjadi kehilangan massa (berat kering) biji kapas. Hasil penelitian Blessing dan Gregory (2010), menyebutkan perebusan dengan waktu yang lebih lama dapat meningkatkan kadar penyerapan air, dengan semakin meningkat kandungan air, maka berat kering akan semakin menurun.  Hal ini yang menyebabkan kandungan nutrisi dan gizi pada bahan pangan seolaholah meningkat. Menurut Agustina et.al (2013), umumnya biji berkarbohidrat tinggi kemampuan menyerap airnya lebih rendah dibandingkan biji yang berprotein tinggi. Selama ± 120 menit pertama, kandungan air meningkat tajam. Antara 120 menit hingga ± 240 menit, terjadi kenaikan kadar air yang tidak berbeda nyata, tergantung pada variasi suhu perendaman yang dilakukan.

Terjadi penurunan kadar pati pada proses perebusan selama 30 menit, namun meningkat hingga perebusan sampai dengan 4 jam, dan menurun lagi pada proses perebusan selama 5 jam (Tabel 1). Hal ini diakibatkan karena ketika pati mengalami pemanasan maka granula pati akan membengkak dan terjadi gelatinisasi, sehingga ketika pemanasan sampai dengan 4 jam kadar pati meningkat. Pembengkakan granula pati terjadi pada suhu 55-65 oC, dan setelah pembengkakan ini granula pati akan kembali pada kondisi semula. Jika pemanasan terus dilanjutkan maka akan terjadi karamelisasi. Selain itu kandungan pati berkorelasi dengan kandungan serat, dimana ketika mengalami pemanasan yang terus menerus maka serat pangan yang terdapat dalam bahan akan mengalami kerusakan sehingga kadar pati (karbohidrat) akan turun (Agustina et al, 2013). Menurut Osman (2007), pada beberapa biji-bijian dan serealia, proses pemanasan dapat meningkatkan nilai nutrisi karena terjadinya gelatinisasi pati dan meningkatkan daya cerna. Proses pemanasan yang digunakan dalam proses ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan minyak dari beberapa biji-bijian. Perlakuan panas meningkatkan nilai gizi dengan merusak inhibitor tripsin, dan meningkatkan daya cerna protein dan asam amino, lemak, dan karbohidrat yang terdapat dalam bahan.

Dilaporkan oleh Wang et.al (2008), kandungan serat kasar pada biji kapas komersial adalah 15,4-28,2%, pada tepung sebesar 11,2-12,7%, sedangkan pada kulit sebesar 47,8-48,6%. Pada perlakuan perebusan, terjadi penurunan kandungan serat kasar pada tepung biji kapas yang diperoleh. Hal ini diakibatkan karena terjadinya pelunakan dan hilangnya kulit keras dari beberapa biji dalam proses perebusan dan peresapan air. Testa biji memiliki kandungan serat yang tinggi, kehilangan itu berarti merupakan penurunan kandungan serat kasar. Sementara hasil penelitian Udensi, et.al (2010), menyebutkan bahwa perlakuan perendaman yang diikuti dengan perebusan tidak memberikan pengaruh, kecuali pada perendaman selama 24 jam yang diikuti perebusan selama 90 menit memberikan hasil serat kasar paling rendah dibandingkan perlakuan lain, namun meningkatkan kandungan karbohidrat pada kacang kara benguk.

Kadar protein pada tepung biji kapas mengalami penurunan selama proses perebusan biji kapas sampai dengan 3 jam, sedangkan perebusan selama 4 jam dan 5 jam meningkatkan kadar protein. Hal ini diduga bahwa setelah 3 jam, terjadi pengurangan massa biji kapas/ berat kering dan tidak terjadi penurunan lagi kadar protein dan pati, maka persentase kadar zat-zat tersebut meningkat.  Penelitian oleh Blessing dan Gregory (2010), menyebutkan perebusan dengan waktu yang lebih lama dapat meningkatkan kadar penyerapan air, protein kasar dan kandungan karbohidrat. Kandungan protein akan semakin terdenaturasi sehingga pecah menjadi asamasam amino yang lebih mudah tercerna. Hal serupa dilaporkan oleh Anwa,et.al (2007), bahwa perlakuan pemanasan dapat meningkatkan tingkat kecernaan protein dengan terbukanya struktur-struktur protein akibat terjadinya denaturasi.  Namun, Famurewa and Raji (2011), berpendapat bahwa perlakuan pemanasan dapat menyebabkan penurunan kualitas protein akibat proses denaturasi dan reaksi Maillard pada suhu tinggi. Sementara penelitian Nsa et.al (2011), menyatakan bahwa perebusan biji jarak kepyar selama lebih dari 10 menit dapat menurunkan kadar protein dan kandungan ricin pada biji.

Perlakuan perebusan ternyata tidak menurunkan kadar minyak. Hal ini disebabkan karena minyak termasuk senyawa non polar yang tidak larut dalam air (Agustina et al, 2013). Hasil ini seiring dengan hasil penelitian Nzewi et.al (2011), bahwa semakin lama waktu perebusan, maka kandungan lemak pada biji asparagus semakin menurun. Lebih lanjut, Amon et.al (2011) mengemukakan bahwa semakin lama waktu perebusan akan menurunkan kandungan lemak/minyak dalam tepung kacang hijau, namun terjadi peningkatan ketika perebusan dilanjutkan hingga 45 – 60 menit, karena adanya kerusakan sel yang tinggi akibat waktu perebusan yang lama

Judul Jurnal           :Komposisi kimia kupang merah (Musculista senhausia) segar dan rebus Chemical Compositions of fresh and boiled red mussel         (Musculista senhausia)
Oleh                         :Nurjanah, Agoes M. Jacoeb, Reza Nurul Ulma, Shinta Puspitasari, Taufik Hidayat

Metodelogi
Penelitian ini meliputi pengambilan sampel kupang merah (M. senhausia) pada bulan Mei 2013 sebanyak 5 kg berat basah, dari Pantai Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. Sampel kupang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kupang segar dan kupang rebus. Kupang direbus dengan air yang bersuhu 100°C selama 10 menit. Analisis yang dilakukan meliputi proksimat, asam amino menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merek Shimadzu berdasarkan acuan metode AOAC (2005) , asam lemak dengan Gas Chromatography (GC) berdasarkan metode AOAC 1984 butir 28.060/GC,

Hasil dan Pembahasan

A.    Komposisi Kimia dan Rendemen Kupang Merah

Komponen kimia dan rendemen kupang merah segar dan rebus disajikan pada Tabel 1.

Komponen kimia dan rendemen kupang merah mengalami penurunan (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa melalui perhitungan secara basis kering (BK) komposisi kimia daging kupang merah menurun setelah mengalami proses perebusan. Penurunan komposisi kimia pada kupang merah ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al. (2012) yang dilakukan terhadap remis. Kadar air, abu, protein, dan lemak remis juga mengalami penurunan setelah perebusan.
B.     Kandungan Asam Amino Kupang Merah

Kandungan asam amino kupang merah segar dan rebus disajikan pada Tabel 2.
Asam amino yang terdeteksi pada kupang merah melalui HPLC terdiri dari 17 jenis asam amino yang meliputi 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial. Perebusan menyebabkan semua asam amino esensial dan non esensial menurun. Penurunan asam amino pada kupang merah setelah proses perebusan ini disebabkan oleh sifat asam amino yang mudah larut dalam air. Beberapa asam amino misalnya alanin, asam aspartat, sistina, asam glutamat, glisina, isoleusina, leusina, metionina, fenilalanina, serina, triptofan, dan tirosina larut air pada suhu 0-100˚C, hidroksiprolina, prolina, dan valina larut air pada suhu 0-75˚C, dan histidin larut air pada suhu 25˚C (de Man, 1999). Ikram dan Ismail (2004) menyatakan bahwa proses perebusan dapat menyebabkan terlarutnya protein pada air sebagai media perebusan, sehingga pada saat bahan dipisahkan dari air perebusan menyebabkan turunnya kandungan protein dan asam amino pada bahan saat dianalisis. Asam amino yang menurun setelah proses perebusan saat dianalisis disebabkan oleh asam amino merupakan penyusun protein.
C.    Kandungan Asam Lemak Kupang Merah

Komposisi rata-rata asam lemak pada kupang merah disajikan pada tabel 3
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa kandungan asam lemak kupang merah juga mengalami penurunan akibat perebusan. Proses pemanasan pada kupang dapat menyebabkan lipida mengalami hidrolisis dan menghasilkan asam-asam lemak bebas. Proses pemanasan dapat menyebabkan berubahnya komponen asam lemak menjadi senyawa-senyawa yang volatil yakni aldehid, keton, asam dan hidrokarbon. Senyawa-senyawa ini akan menguap ketika diberikan panas sehingga kandungan asam lemaknya mengalami penurunan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yenni et al. (2012) tentang pengaruh perebusan terhadap asam lemak kerang pokea yang menyatakan bahwa terjadi penurunan asam lemak pada kerang pokea setelah diberikan perlakuan panas yaitu perebusan pada suhu 100°C dan dengan penghitungan asam lemak menggunakan metode GC (Gas Chromatography). Kerusakan lemak yang dapat terjadi selama proses perebusan yaitu hidrolisis lemak. Air dapat menyebabkan lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi hidrolisis dapat terjadi pada asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Reaksi ini dapat dipercepat oleh aktivitas enzim lipase dan panas, reaksi hdrolisis memerlukan air maka keberadaan air akan mempercepat reaksi (Kusandar, 2010).

Judul Jurnal      :PENGARUH LAMA PEREBUSAN DAN LAMA PENYANGRAIAN DENGAN KUALI   TANAH   LIAT TERHADAP  MUTU KERIPIK BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr)
Oleh                   :Yulia Ester Pakpahan, Zulkifli Lubis, Setyohadi

Metodologi
Biji durian  disortasi  dan dipilih  biji durian yang bermutu baik, dibersihkan  dan dicuci kemudian biji durian direbus sesuai dengan perlakuan  selama  10 menit, 15 menit, 20 menit dan 25  menit. Biji durian yang telah direbus lalu diuji kandungan rendemen, air, karbohidrat, lemak, protein, dan sifat organoleptiknya. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis   keseragaman   (ANOVA)   dimana perlakuan yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata atau sangat nyata kemudian  diuji dengan uji beda nyata terkecil / Least Significan Rage (LSR).

Hasil dan Pembahasan
Hasil   penelitian   menunjukkan   bahwa lama perebusan memberikan pengaruh terhadap rendemen,  kadar air (%), kadar  abu (%),  kadar lemak  (%), kadar protein  (%), kadar karbohidrat(%),   nilai   organoleptik   warna (numerik),  nilai organoleptik  kerenyahan (numerik), nilai organoleptik cita rasa (numerik) dapat  dilihat  pada  Tabel  1
  Tabel 1. Pengaruh lama perebusan (menit) terhadap parameter yang diamati


A1 (10)
A2 (15)
A3 (20)

A4 (25)
Rendemen (%)
28,447 aA
27,983 bA
27,277 cA

26,641 dA
Kadar Air (%)
2,739 cB
3,045 bA
3,114 aA

3,115 aA
Kadar Lemak (%)
8,603 aA
8,276 abAB
8,112 bAB

7,900 bB
Kadar Protein (%)
1,472 aA
1,429 aAB
1,419 abAB

1,336 bB
Kadar Karbohidrat (%)
85,487 bA
85,543 bA
86,121 abA

86,501 aA
Nilai Organoleptik Warna (Numerik)
1,771 aA
1,742 aAB
1,671 bB

1,621 bB
Nilai Organoleptik Kerenyahan (Numerik)
2,633 cB
2,763 bAB
2,813 abAB

2,900 aA
Nilai Organoleptik Cita Rasa (Numerik)
2,333 bB
2,392 abAB
2,450 abAB

2,483 aA

 
perebusan (menit)                   









Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh  berbeda nyata pada taraf 5% huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) dengan uji LSR.

Kadar Karbohidrat (%)

Semakin lama perebusan maka kadar karbohidrat  biji  durian   yang  dihasilkan akan  semakin  meningkat. Hal ini disebabkan oleh pengaruh penurunan  kadar  air,  kadar  abu,  kadar  protein dan kadar lemak sehingga meningkatkan kadar karbohidrat yang dihasilkan pada biji durian. Hal ini  sesuai  dengan  pernyataan  Winarno,  (2002) yang menyatakan kadar karbohidrat ditentukan dengan menghitung selisih 100% dengan jumlah kadar   protein,   lemak,   abu   dan   air,  sehingga apabila   jumlah   kadar   tersebut   banyak   yang menurun maka kadar karbohidratnya meningkat.


Judul jurnal          :Pengaruh waktu perebusan biji nangka (artocapus Heterophylluslamk)terhadap kadar karbohidrat, protein, dan lemak.
Oleh                       :Selvi Yulianti, Ratman dan Solfarina J. Akad. Kim. 4(4): 210-216, November 2015 ISSN 2302-6030 (p), 2477-5185 (e)

Metodologi

Biji nangka 100 gram dipotong menjadi bagian-bagian kecil, selanjutnya direbus dengan menggunakan variasi waktu yang berbeda yaitu 15 menit, 30 menit dan 45 menit. Biji nangka yang sudah direbus dibiarkan kering dengan menggunakan oven pada suhu 60oC selama 16 jam. Sampel yang telah kering diblender kemudian diayak menggunakan ayakan 80 mesh. Tepung biji nangka siap digunakan untuk analisis.

Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan cara sampel tepung biji nangka ditimbang 2 gram. Dimasukkan sampel kedalam gelas kimia, lalu 50 mL aquades ditambahkan dan diaduk dengan magnetik stirer selama 1 jam. Sampel disaring dengan kertas saring pada labu ukur 250 mL. Aquades ditambahkan sampai batas tera. Residu ditambahkan dan aquades sebanyak 200 mL disemprotkan kedalam erlenmeyer. Larutan fenol 5% sebanyak 0,5 mL dan H2SO4 sebanyak 2,5 mL ditambahkan. Selama 10 menit didiamkan kemudian divorteks dan selama 20 menit didiamkan kembali. kadar karbohidrat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Perlakuan dilakukan sebanyak dua kali.

Analisis kadar lemak dilakukan dengan ara labu dikeringkan dalam oven yang ukurannya sesuai alat ekstraksi soxhlet. Lalu, dinginkan di dalam desikator dan ditimbang. 2 gram sampel halus ditimbang dan dibungkus dengan kapas dan kertas saring. Sampel dimasukkan kedalam alat extraksi soxhlet, alat kondensor dipasang di atas dan labu di bawah alat soxhlet. Pelarut heksana diisi dalam labu. Proses refluks dilakuakan sampai pelarut turun kembali dan berwarna jernih. Labu dipanaskan sampai pelarut mendidih dan menguap naik,ke sampel yang dibungkus kertas saring dan,turun ke labu dan seterusnya. Dilalukan proses destilasi pelarut yang telah mengandung ekstrak lemak dalam labu, dan menampung pelarutnya. Labu yang berisi lemak hasil ekstraksi di panaskan dalam oven pada suhu 105 ÂșC, lalu dinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Perlakuan dilakukan sebanyak dua kali dan gantikan dengan sampel yang direbus selama15 menit, 30 menit, dan 45 menit.

Analisis kadar protein dilakukan dengan cara sampel 0,5 gram ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Kjeldahl. 0,1 gram K2SO4, 10 mg HgO, 10 mL larutan H2SO4 pekat, dan 1-3 butir batu didih ditambahkan, semua bahan didestruksi (dipanaskan) dalam labu Kjeldahl sampai mendidih hingga larut dalam labu dan cairan jernih. Pemanasan dihentikan dan dibiarkan dingin. Erlenmeyer ukuran 125 mL yang telah berisi 5 mL larutan H3BO3 dan 2-5 tetes indikator phenolphthalein ditambahkan dan diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor direndam dalam larutan H3BO3. 8-10 mL NaOH-Na2S2O3 ditambahkan kemudian destilasi sampai destilat tertampung dalam erlenmeyer mencapai kurang lebih 15 mL. setelah itu diencerkan kira-kira sampai 50 mL. Titrasi dengan larutan HCl 0,112 N. Proses titrasi dihentikan pada saat destilat berubah warna merah muda (apabila digoyanggoyang tetap berwarna merah muda, stabil). Larutan blangko dibuat dan sampel digantikan dengan aquades. Perlakuan diulangi untuk sampel yang direbus selama 15 menit, 30 menit dan 45 menit dan larutan blangko. Perlakuan dilakukan sebanyak dua kali.

Hasil dan Pembahasan

Hasil data yang diperoleh yaitu analisa kadar karbohidrat, protein, dan lemak disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut ;

Berdasarkan gambar tersebut dijelaskan bawa kandungan biji nangka akan mengalami penurunan kadar karbohidrat seiring lamanya waktu perebusan. Dari penelitian ini menurunnya kadar karbohidrat pada waktu perebusan selama 45 menit dengan kadar karbohidrat yaitu 42,75%.  Pada protein mengalami denaturasi akibat proses pemanasan. Denaturasi membuat protein akan menjadi rusak. Sehingga banyaknya protein yang terdenaturasi maka akan semakin berkurang kadar protein biji nangka tersebut. Pada penelitian ini didapatkan kadar protein pada waktu perebusan 15 menit, 30 menit, dan 45 menit adalah 5,40%, 0,95%, dan 0,40%. Sedangkan pada kadar lemak, terjadi penurunan kadar lemak dari bii nangka waktu perebusan yang berbeda-beda yaitu , 15 menit, 30 menit,dan 45 menit adalah 3,928%, 3,837%, dan 3,568%. Penurunan kadar protein disebabkan karena proses perebusan yang semakin lama, membuat lemak akan teroksidasi khususnya pada asam lemak tak jenuh.


III.        KESIMPULAN


Kesimpulan yang didapatkan adalah:

1.      Lama perebusan berpengaruh terhadap penurunan kadar protein tepung biji kapas, perebusan selama 4 jam dapat meningkatkan kadar protein dibandingkan dengan perebusan ½- 3jam.
2.      Semakin lama waktu perebusan yang dilakukan (0,15,30) maka akan semakin menurunkan kadar karbohidrat, protein, dan lemak pada perebusan biji nangka.
3.      Proses perebusan selama 10 menit dengan suhu 1000C menyebabkan perubahan pada komposisi kimia kupang merah ,asam amino. Komposisi kimia tersebut meliputi kadar protein 1,39%, lemak 0,42% dan karbohidrat naik 4,07%. Asam amino mengalami penurunan perebusan yaitu SAFA 38,17% segar dan 37,31% rebus, MUFA 8,13% segar dan 8,02% rebus, Pufa 10,31% segar dan 8,77% rebus.
4.      Waktu perebusan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap rendemen kadar lemak ,kadar protein dan kadar karbohidrat.

DAFTAR PUSTAKA


AOAC. 1990. Association of Official Analytical Chemists, 15th edition. Washington DC, USA.

Adelola, OB. and Ndudi, EA. 2012. Extraction and Characterization of Cottonseed (Gossypium) Oil.  International Journal of Basic and Applied Science. 01(02): 398-40

Agustina, N., Sri W., Warji, dan Tamrin. 2013. Pengaruh suhu perendaman terhadap koefisien difusi dan sifat fisik kacang merah. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. 2(1) : 3542

Amon, AS., Rene YS., Phampile KBK, Edmond AD., and Lucien PK. 2011. Biochemical Characteristics of Flours from Ivorian Taro (Colocasia esculenta, Cv Yatan) Corm as Affected by Boiling Time. Advance Journal of Food Science and Technology. 3(6): 424-435

Anwa EP, Auta J, Abudullahi SA, Bolorunduro PI. 2007. Effect of processing on seeds of Albizzia lebbeck: Proximate analysis and phytochemical screening. Res. J. Bio Sci. 2(1): 41-44

Blessing, IA. and IO. Gregory. 2010. Effect of processing on the proximate composition of the dehulled and undehulled mungbean [Vigna radiata (L.) Wilczek] Flours. Pakistan Journal of Nutrition. 9 (10) : 1006-1016

de Man, J.M. 1999. Principles of food chemistry. Aspen Publishers,Inc. US. Maryland.
Dodou, K. 2005. Investigations of gossypol – past and present developments. Expert Opin. Inv. Drugs. 14 : 14191434.

Ezekiel, O.O., and Abiodun A.O. 2013. Effect of Processing on Sensory Characteristics and Chemical Composition of Cottonseed (Gossypium hirsutum) and Its Extract. International Journal of Biological, Biomolecular, Agricultural, Food and Biotechnological Engineering. 7 (3) : 197-201

Famurewa, J. A. V. and Raji, A. O. 2011. Effect of drying methods on the physico-chemical properties of soyflour.  African Journal of Biotechnology. 10(25) : 5015-5019.

Fubara, E. P., Bassey. O.E. and Ozioma A.E. 2011. Evaluation of the Effects of Processing on the Mineral Contents of Maize (Zea mays) and Groundnut (Arachis hypogaea). Libyan Agriculture Research Center Journal International. 2 (3): 133-137

Gerasimidis, K., Dimitrios TF., Maria B., Katerina T., and Haralampcs K. 2007 . Preparation of an edible cottonseed protein concentrate and evaluation of its functional properties. International journal of Food Sciences and Nutrition. 58(6) : 486-490

Ikram, E.H.K., A. Ismail. 2004. Effects of cooking practices (boiling and frying) on the protein and amino acids contents of four selected fishes. Journal of Science Food Nutrition, 34(2): 54-59.
Khan, N., Khan B. Marwat, Gul Hassan, Farhatullah, Sundas Batool, Khadijah Makhdoom, Waqas Ahmad and Habibullah Khan. 2010. Genetic variation and heritability for cottonseed, fiber, and oil traits in Gossypium hirsutum L. Pakistan J. Bot. 42 (1) : 615-625.

Kenar, J. A. 2006. Reaction chemistry of gossypol and its derivatives. Journal of the American Oil Chemists’ Society. 83 (4) : 269–302.

Kusnandar, F. 2010. Kimia pangan: komponen makro. Dian Rakyat. Jakarta.

Matondi, GHM., E. Masama, IDT. Mpofu, and FF.Muronzi. 2007. Effect of feeding graded levels of cotonseed meal on goat erythrocyte membrane osmotic fragility. Livestock Research for Rural Development. 19 (11).

Nsa, EE, Ukachukwu, SN, Isika, MA. and Ozung, PO. 2011. Effect of boiling and soaking durations on the proximate composition, ricin and mineral contents of undecorticated castor oil seeds (Ricinus communis). International Journal of Plant, Animal and Environment Sciences. 1(3) : 244-252

Nunik, E. D. 2016. Pengaruh Waktu Perebusan terhadap Kandungan Proksimat, Mineral dan Kadar Gosipol Tepung Biji Kapas. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian Vol. 13 No.1: 100 – 107

Nurjanah, A.M. Jacoeb, R.N Ulma, S. Puspitasari, T. Hidayat. 2015.
Komposisi kimia kupang merah (Musculista senhausia) segar dan rebus Chemical compositions of fresh and boiled red mussel (Musculista senhausia). Jurnal Depik 3(3): 241-249

Nzewi, D. And Egbuonu, ACC. 2011. Effect of boiling and roasting on the proximate properties of asparagus bean (Vigna Sesquipedalis). African Journal of Biotechnology. 10(54) : 11239-11244.

Osman,  AM. 2007. Effect of different processing methods on nutrient composition, anti-nutritional factors and in vitro protein digestibility on Dolichos lablab bean (Lablab purpureus (L) Sweet). Pak. J. Nutr. 6 (4) : 299-303

Sawan, ZM., Saeb A. Hafez, Ahmed E. Basyony, and Abou El-Ela R. Alkassas. 2006. Cottonseed, protein, oil yields and oil properties as afected by nitrogen fertilization and foliar application of potassium and a plant growt retardant. World Journal of Agricultural Science. 2 (1) : 56-65.

Salamah, E., S. Purwaningsih, R..Kurnia. 2012. Kandungan mineral remis (Corbicula javanica) akibat proses pengolahan. Jurnal Akuatika, 3(1): 74-83.
Scheffler,  J. A. and G. B. Romano. 2008. Breeding and genetics: modifying gossypol in cotton (Gossypium hirsutum L.): a cost effective method for small seed samples. Journal of Cotton Science. 12 (3) : 202–209.

Udensi, EA., NU. Arisa, E. Ikpa. 2010. Effects of soaking and boiling and autoclaving on the nutritional quality of Mucuna flagellipes (“ukpo”). African Journal of Biochemistry Research. 4(2) : 47-50

Wang, N., Hatcher, D.W., and Gawalko, E.J. 2008. Effect of variety and processing on nutrients and certain antinutrients in field peas (Pisum sativum). Food Chem.  111 : 132-138.

Winarno,  F.G. 2002.  Kimia  Pangan  dan  Gizi. Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Yenni, Nurjanah, T. Nurhayati. 2012. Pengaruh perebusan terhadap kandungan asam lemak dan kolesterol kerang pokea (Batissa violacea celebensis Marten 1897). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia,15(3): 193-197.

Zhang, Wen-ju, XU, Zi-rong, SUN, Jian-yi, and YANG Xia. 2006. Effect of selected fungi on the reduction of gossypol levels  and nutritional value during solid substrate  fermentation of cottonseed meal.  Journal of Zhejiang University. 7(9):690-695.